Gempa di Jogya mengingatkan saya pada Rumah Tradisional Joglo, setelah kemarin melihat kenyataan Kampung Naga dan Rumah Adat Kampung Dukuh mempunyai konsruksi bangunan tahan gempa.
Mungkin rumah-rumah tradisional di beberapa daerah lain mempunyai karakteristik yang hampir sama dan tahan terhadap gencangan gempa bumi atau gempa tektonik.
Sebelum membahas terlalu jauh tentang Rumah Joglo, saya akan memberikan sundulan balik pada beberapa sahabat yang sedang berlaga di kontes seo stop dreaming start action (teteeep ) :
“Kalau penjualan rumah joglo ini tidak bisa dibendung, dalam beberapa tahun ke depan Kotagede sebagai kawasan budaya hanya akan tinggal kenangan,” tegas Mohammad Natsier, aktivis Lembaga Pengembangan Seni Budaya dan Pariwasata Kotagede, saat menyaksikan pembongkaran rumah joglo kuno milik Raden Mandoyo, Senin (8/6).
Dalam catatan Natsier, antara tahun 1985 hingga 2005 rata-rata hanya satu rumah joglo kuno di Kotagede yang “hilang”. Penyebabnya adalah kerusakan akibat tidak dirawat karena ditinggal oleh pemiliknya. “Karena tak terawat, bangunan itu kemudian ambruk,” jelasnya.
Namun, laju pengurangan rumah joglo melonjak drastis setelah bencana gempa bumi tahun 2006. “Dari tahun 2006 hingga saat ini, tercatat 31 rumah joglo telah dibongkar dan berpindah dari Kotagede. Itu artinya rata-rata 10 rumah joglo setiap tahunnya,” katanya.
Menurut Natsier, penjualan rumah joglo tak mungkin bisa ditahan tanpa campur tangan pemerintah. Artinya, pemerintah harus mendaftar rumah joglo dan ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Tanpa langkah tersebut, kata Natsier, warga tetap bebas menjual rumahnya, meski yang dijual itu bangunan kuno buatan tahun 1800-an.
“Yang bisa kami lakukan sampai saat ini paling mengajak warga untuk menyadari pentingnya rumah joglo kuno tetap berada di Kotagede. Kalau Kotagede hilang joglonya, Kotagede sebagai kawasan budaya tidak ada artinya lagi,” katanya.
Menurut Natsier, saat ini masih tersisa sekitar 150 rumah joglo kuno buatan tahun 1800-an yang masih berada di Kotagede. Tidak mustahil jumlahnya akan terus menyusut karena faktor ekonomi dan waris. “Calo barang antik begitu kuat dan solid, dan bahkan melibatkan orang asing,” ujarnya.
Lembaga Pengembangan Seni Budaya dan Pariwasata Kotagede saat ini sedang berupaya mendata keberadaan rumah joglo asal Kotagede. “Kalau tidak bisa menahan laju penjualan rumah, paling tidak kami tahu kemana perginya. Dengan demikian, minimal kami punya data dimana saja rumah joglo dari Kotagede itu sekarang berada, termasuk yang dibawa ke luar negeri,” ujarnya.
Mungkin rumah-rumah tradisional di beberapa daerah lain mempunyai karakteristik yang hampir sama dan tahan terhadap gencangan gempa bumi atau gempa tektonik.
Sebelum membahas terlalu jauh tentang Rumah Joglo, saya akan memberikan sundulan balik pada beberapa sahabat yang sedang berlaga di kontes seo stop dreaming start action (teteeep ) :
- Stop Dreaming Start Action Cebong
- Stop Dreaming Start Action Ragil
- Stop Dreaming Start Action Indungg
- Stop Draeming Start Action Ayomaju
“Kalau penjualan rumah joglo ini tidak bisa dibendung, dalam beberapa tahun ke depan Kotagede sebagai kawasan budaya hanya akan tinggal kenangan,” tegas Mohammad Natsier, aktivis Lembaga Pengembangan Seni Budaya dan Pariwasata Kotagede, saat menyaksikan pembongkaran rumah joglo kuno milik Raden Mandoyo, Senin (8/6).
Dalam catatan Natsier, antara tahun 1985 hingga 2005 rata-rata hanya satu rumah joglo kuno di Kotagede yang “hilang”. Penyebabnya adalah kerusakan akibat tidak dirawat karena ditinggal oleh pemiliknya. “Karena tak terawat, bangunan itu kemudian ambruk,” jelasnya.
Namun, laju pengurangan rumah joglo melonjak drastis setelah bencana gempa bumi tahun 2006. “Dari tahun 2006 hingga saat ini, tercatat 31 rumah joglo telah dibongkar dan berpindah dari Kotagede. Itu artinya rata-rata 10 rumah joglo setiap tahunnya,” katanya.
Menurut Natsier, penjualan rumah joglo tak mungkin bisa ditahan tanpa campur tangan pemerintah. Artinya, pemerintah harus mendaftar rumah joglo dan ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Tanpa langkah tersebut, kata Natsier, warga tetap bebas menjual rumahnya, meski yang dijual itu bangunan kuno buatan tahun 1800-an.
“Yang bisa kami lakukan sampai saat ini paling mengajak warga untuk menyadari pentingnya rumah joglo kuno tetap berada di Kotagede. Kalau Kotagede hilang joglonya, Kotagede sebagai kawasan budaya tidak ada artinya lagi,” katanya.
Menurut Natsier, saat ini masih tersisa sekitar 150 rumah joglo kuno buatan tahun 1800-an yang masih berada di Kotagede. Tidak mustahil jumlahnya akan terus menyusut karena faktor ekonomi dan waris. “Calo barang antik begitu kuat dan solid, dan bahkan melibatkan orang asing,” ujarnya.
Lembaga Pengembangan Seni Budaya dan Pariwasata Kotagede saat ini sedang berupaya mendata keberadaan rumah joglo asal Kotagede. “Kalau tidak bisa menahan laju penjualan rumah, paling tidak kami tahu kemana perginya. Dengan demikian, minimal kami punya data dimana saja rumah joglo dari Kotagede itu sekarang berada, termasuk yang dibawa ke luar negeri,” ujarnya.
5 Komentar:
Suwun,...
Kok ga link yg ini ajah sech bang,.
Suwun..
Ga satu topik lagi,....hiks..hiks...
Suwun Bro....!
WAH Bahaya tuh kalo punah .. bagaimana dengan generasi berikutnya, cuman tinggal cerita doang dah akhirnya.. huhu
yah emang susah juga klo dilestarikan 100% x ya sob, mungkin orang luar negri brani bayar mahal jdnya ada yg tergoda ato pas butuh 'fulus' yah jual jg gitu dgn berat hati.. ok sharing aja ya sob. salam.
Sebenarnya rumah Joglo tuh masuk benda cagar budaya gak sih? Jika iya, apa dasarnya? Makasih...
Post a Comment
Silahkan Komentar Nye-Pam terpaksa saya Hapus.