Dalam ilmu komunikasi tentang apa yang terpapar dalam Buku Membongkar Gurita Cikeas : Di Balik Skandal Bank Century, karya George J. Aditjondro, memiliki nilai kebenaran elusive. Yakni, materi berita yang masih sukar dipegang kebenarannya. Sebab sebagai wujud hasil sebuah penerbitan, buku tersebut baru memberitakan - dalam ilmu hukum disebut - Testimonium De Auditu, kesaksian yang diperoleh dari “katanya” orang.
Tentu saja muatan karya tulis yang demikian masih mengandung kesalahan-kesalahan. Sebagai penulis, sosiolog yang aktivis LSM ini pasti menyadari adanya kekurangan tersebut. Namun, dalam suatu proses dialogis, kesalahan atau kekurangan itu merupakan kondisi wajar. Sebab jika hanya kebenaran absolut yang boleh ditulis, maka tidak akan pernah ada buku yang diterbitkan, kecuali kitab suci.
Karya pria kelahiran 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah, tidak boleh ditanggapi emosional. Tapi boleh ditanggapi secara cerdas, seperti yang bakal dilakukan pihak Cikeas, menerbitkan buku putih tentang hal itu.
Pasca rezim Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa, juga pernah terbit buku putih berjudul Menegakkan Kebenaran. Buku ini berkisah mengenai kesaksian F-PKB tentang Dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunai. Dua skandal keuangan yang menyebabkan cucu pendiri ormas keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) itu terjungkal dari kursi kepresidenan.
Buku merupakan salah satu dari sekian bentuk proses komunikasi massa. Dr. Phil. Astrid S. Susanto mengutip pendapat Edward Sapir dari bukunya William L. Rivers dan Theodore Peterson berjudul Mass Media an Society mengatakan, pada prinsipnya proses komunikasi dapat dibedakan antara primary process yang meliputi 4 (empat) proses, yakni bahasa, aba-aba, imitasi tindakan luar orang lain, dan sugesti sosial.
Kemudian, secondary process, yakni proses komunikasi yang menggunakan peralatan (instrumen) untuk melancarkan dan menyebarkan berita, dengan tujuan-tujuan antara lain:
Ketentuan perundang-undangan pidana dalam KUHPidana Indonesia mengatur beberapa kejahatan yang berhubungan dengan produk cetakan/penerbitan. Pembuat atau petindak dapat dipidana, bila melalui surat kabar, majalah, buku-buku, selebaran/ leaflet, terbukti melakukan:
Maksudnya untuk membuktikan pelanggaran tersebut, harus terlebih dulu dibuktikan secara faktual-materiil telah terjadi perasaan permusuhan sebagai akibat perbuatan pidana itu. Namun, Pemerintah penjajah Belanda mengubahnya menjadi delik formil, artinya setiap perbuatan yang dianggap “dapat” menimbulkan permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah yang sah, tindak pidana dianggap telah selesai dilakukan. Penegak hukum tidak perlu membuktikan, apakah benar dalam diri masyarakat telah timbul rasa permusuhan dan kebencian dimaksud.
Dengan demikian, tindakan menulis saja, belum termasuk melakukan percobaan penghasutan, kecuali jika tulisan itu selesai dibuat namun gagal atau digagalkan karena faktor di luar diri pelaku, yang bersangkutan telah melakukan percobaan tindak pidana penghasutan yang dapat dihukum.
Tentang kebebasan ini, setidaknya dikenal ada 2 (dua) sistem negara, yakni negara yang menganut sistem libertarian atau menjalankan sistem organis-statis. Pada sistem yang pertama, warga negara memiliki kebebasan yang luas, karena negara meyakini bahwa kebenaran adalah milik individu. Setiap orang berhak menelusuri, mencari kebenaran atas informasi yang diperolehnya, dan mempublikasikannya.
Sedangkan pada sistem yang kedua, nilai kebenaran suatu informasi berada dalam kontrol dan kekuasaan negara. Bila negara tersebut menggunakan pendekatan otoriter-totaliter, maka kontrol terhadap kebebasan publikasi tulisan (baca: menerbitkan) warga negara sangat ketat.
Sebaliknya, bila negara menerapkan kebijakan politik demokratis, kebebasan publikasi tulisan warga negara relatif memperoleh kebebasan. Artinya, pada sisi-sisi tertentu, negara dapat meminta pertanggungjawaban atas tulisan itu dengan dalih dan atas nama demokrasi pula.
(source : mono kompasiana.com)
Tentu saja muatan karya tulis yang demikian masih mengandung kesalahan-kesalahan. Sebagai penulis, sosiolog yang aktivis LSM ini pasti menyadari adanya kekurangan tersebut. Namun, dalam suatu proses dialogis, kesalahan atau kekurangan itu merupakan kondisi wajar. Sebab jika hanya kebenaran absolut yang boleh ditulis, maka tidak akan pernah ada buku yang diterbitkan, kecuali kitab suci.
Karya pria kelahiran 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah, tidak boleh ditanggapi emosional. Tapi boleh ditanggapi secara cerdas, seperti yang bakal dilakukan pihak Cikeas, menerbitkan buku putih tentang hal itu.
Pasca rezim Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa, juga pernah terbit buku putih berjudul Menegakkan Kebenaran. Buku ini berkisah mengenai kesaksian F-PKB tentang Dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunai. Dua skandal keuangan yang menyebabkan cucu pendiri ormas keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) itu terjungkal dari kursi kepresidenan.
Buku merupakan salah satu dari sekian bentuk proses komunikasi massa. Dr. Phil. Astrid S. Susanto mengutip pendapat Edward Sapir dari bukunya William L. Rivers dan Theodore Peterson berjudul Mass Media an Society mengatakan, pada prinsipnya proses komunikasi dapat dibedakan antara primary process yang meliputi 4 (empat) proses, yakni bahasa, aba-aba, imitasi tindakan luar orang lain, dan sugesti sosial.
Kemudian, secondary process, yakni proses komunikasi yang menggunakan peralatan (instrumen) untuk melancarkan dan menyebarkan berita, dengan tujuan-tujuan antara lain:
- Mencapai masyarakat yang lebih luas, artinya mencapai komunikan yang lebih luas daripada yang dimungkinkan oleh kegiatan komunikasi antar-pribadi;
- Memungkinkan imitasi oleh lebih banyak orang (secara tidak langsung), karena jumlah komunikan lebih luas daripada dalam primary process;
- Mengatasi batas-batas komunikasi yang dapat diadakan oleh adanya batas ruang (geografis) dan batas waktu.
Ketentuan perundang-undangan pidana dalam KUHPidana Indonesia mengatur beberapa kejahatan yang berhubungan dengan produk cetakan/penerbitan. Pembuat atau petindak dapat dipidana, bila melalui surat kabar, majalah, buku-buku, selebaran/ leaflet, terbukti melakukan:
- Menyebarkan kebencian (Pasal 154 s/d163 yuncto Pasal 207, 208, dan 483, 484, serta 485 KUHPidana), karena dianggap telah menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negara Indonesia. Termasuk pula menciptakan kebencian antar-golongan masyarakat serta penodaan salah satu agama yang dianut di Indonesia.
Maksudnya untuk membuktikan pelanggaran tersebut, harus terlebih dulu dibuktikan secara faktual-materiil telah terjadi perasaan permusuhan sebagai akibat perbuatan pidana itu. Namun, Pemerintah penjajah Belanda mengubahnya menjadi delik formil, artinya setiap perbuatan yang dianggap “dapat” menimbulkan permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah yang sah, tindak pidana dianggap telah selesai dilakukan. Penegak hukum tidak perlu membuktikan, apakah benar dalam diri masyarakat telah timbul rasa permusuhan dan kebencian dimaksud.
- Melakukan tindak pidana penghinaan, yang di dalam KUHPidana dibagi menjadi 6 (enam) macam pengertian, yakni menista (smaad), menista dengan surat (smaadschrift), memfitnah (laster), penghinaan ringan (eenvoudige belediging), mengadu secara memfitnah (lasterlijk aanklacht), dan tuduhan secara menfitnah (lasterlijk verdachtmaking), sebagaimana diatur dalam Pasal 137, 144, 310 s/d 312 KUHPidana.
- Melakukan tindak pidana penghasutan, sesuai Pasal 160 s/d 163 KUHPidana, adalah perbuatan mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu yang sifatnya melawan kekuasaan umum. Dalam delik ini penghasutan memiliki perbedaan antara perbuatan yang dilakukan secara lisan dengan yang dilakukan melalui tulisan.
Dengan demikian, tindakan menulis saja, belum termasuk melakukan percobaan penghasutan, kecuali jika tulisan itu selesai dibuat namun gagal atau digagalkan karena faktor di luar diri pelaku, yang bersangkutan telah melakukan percobaan tindak pidana penghasutan yang dapat dihukum.
- Membuat atau menyiarkan berita bohong, juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946. Yang dimaksudkan dalam pidana ini adalah membuat/menyiarkan informasi yang tidak benar atau tidak pernah terjadi. Namun untuk membuktikan bahwa informasi tersebut adalah informasi bohong-bohongan, membutuhkan pembuktian yang kuat. Sebab menilai suatu informasi adalah informasi yang bohong, tidak sama dengan penulisan yang sumber informasinya salah, datanya tidak akurat, atau adanya kesalahan kutip yang menimbulkan ragam tafsir/persepsi. Maknanya, bila yang terjadi seperti apa yang disebut terakhir, maka kesalahan demikian tidak secara langsung dapat divonis terbukti telah melakukan tindak pidana membuat atau menyiarkan informasi bohong.
Tentang kebebasan ini, setidaknya dikenal ada 2 (dua) sistem negara, yakni negara yang menganut sistem libertarian atau menjalankan sistem organis-statis. Pada sistem yang pertama, warga negara memiliki kebebasan yang luas, karena negara meyakini bahwa kebenaran adalah milik individu. Setiap orang berhak menelusuri, mencari kebenaran atas informasi yang diperolehnya, dan mempublikasikannya.
Sedangkan pada sistem yang kedua, nilai kebenaran suatu informasi berada dalam kontrol dan kekuasaan negara. Bila negara tersebut menggunakan pendekatan otoriter-totaliter, maka kontrol terhadap kebebasan publikasi tulisan (baca: menerbitkan) warga negara sangat ketat.
Sebaliknya, bila negara menerapkan kebijakan politik demokratis, kebebasan publikasi tulisan warga negara relatif memperoleh kebebasan. Artinya, pada sisi-sisi tertentu, negara dapat meminta pertanggungjawaban atas tulisan itu dengan dalih dan atas nama demokrasi pula.
(source : mono kompasiana.com)
0 Komentar:
Post a Comment
Silahkan Komentar Nye-Pam terpaksa saya Hapus.