Gempa bumi lagi ! Gempa Tektonik lagi ! Gempa Susulan, hampir tidak ada tempat yang aman di bumi Indonesia dari guncangan gempa, kecuali Pulau Kalimantan.
Tetapi, kesadaran bahwa kita hidup di atas permukaan bumi yang rapuh, seharusnya membuat kita selalu waspada. Kondisi psikologis inilah yang harus tetap dipertahankan, karena kewaspadaan akan membuat kita bisa selamat.
Gempa yang mengguncang bumi (earthquake) sebenarnya lebih terasa sebagai gempa yang mengguncang hati, heartquake! Bagaimana tidak mengguncang hati, jika kita kembali terhenyak dengan korban jiwa yang kembali terenggut ketika guncangan itu meruntuhkan tembok, atap dan dinding rumah dan kemudian menimpa para penghuni di dalamnya?
Selama ini, BMG sebenarnya sudah memiliki peralatan magnetometer di sedikitnya enam stasiun, antara lain di Medan dan Kupang, tetapi yang dimiliki BMG tidak dioperasikan untuk memprediksi gempa.
Selain karena tidak bersifat 'riil time', juga karena memprediksi gempa dengan gelombang EM masih merupakan hal baru dan belum dipercaya sebagai bagian ilmu meteorologi dan geofisika. Cara meramal gempa lainnya, juga bisa melalui satelit GPS (global positioning System.)
Sunda Megathrust adalah sesuatu yang mutlak dan niscaya datangnya, walaupun kita tidak pernah tahu kapan akan terjadi dan gempa bumi sulit untuk diprediksi secara tepat. Esok hari, lusa nanti ... sepuluh tahun atau bahkan seratus tahun lagi ?
Pegunungan itu merupakan ekspresi dari tabrakan dua lempeng bumi, yaitu lempeng Samudra India-Australia dengan lempeng Benua Eurasia. Lempeng samudra yang relatif aktif bergerak mendesak Pulau Sumatra ke arah utara, tertunjam di bawah pulau Sumatra, dalam posisi miring dan tidak frontal terhadap pantai barat Sumatra.
Di bawah laut, tempat penunjaman lempeng ini membentuk suatu palung laut. Palung ini memanjang mulai dari Laut Andaman di utara Aceh, menerus sepanjang lepas pantai barat Sumatra, berbelok ke laut selatan Jawa dan menerus ke arah timur di selatan Kepulauan Sunda Kecil, dan melengkung ke Laut Banda. Palung laut dengan kedalaman hingga mencapai 6.000 meter dari muka laut ini merupakan tempat kontak antara dua lempeng yang bertabrakan tersebut.
Rumah tradisional yang bertahan
Digoncang Gempa beberapa desa yang dianggap modern dengan dinding tembok batu bata dan semen banyak yang roboh rata dengan tanah. Mereka seakan-akan lupa teknologi yang telah diperkenalkan oleh leluhur mereka, yaitu rumah panjang dari kayu tanpa paku yang tetap ajeg kokoh di antara puing-puing rumah tembok.
Begitu pula di Tatar Sunda. Ketika saya mengunjungi gempa di Tasikmalaya, kami mendapat suatu pemandangan yang kontras. Di sebuah kampung yang merupakan kampung campuran dimana masih terdapat rumah-rumah tradisional di sekeliling bangunan modern dengan design beton yang kokoh dan arsitektur modern.
Rumah-rumah panggung tradisional Sunda yang bertiang kayu dan berdinding bilik, masih tetapi berdiri tanpa rusak sedikitpun di sampingnya beberapa rumah “modern” bertembok yang hancur berantakan.
Penghuni rumah yang mempunyai dua jenis bangunan itu mungkin baru menyadari bahwa rumah panggungnya yang dianggap tertinggal dan kampungan, justru tersenyum ketika guncangan gempa bumi mengguncang hati para penghuninya.
source : dari berbagai sumber
Tetapi, kesadaran bahwa kita hidup di atas permukaan bumi yang rapuh, seharusnya membuat kita selalu waspada. Kondisi psikologis inilah yang harus tetap dipertahankan, karena kewaspadaan akan membuat kita bisa selamat.
Gempa yang mengguncang bumi (earthquake) sebenarnya lebih terasa sebagai gempa yang mengguncang hati, heartquake! Bagaimana tidak mengguncang hati, jika kita kembali terhenyak dengan korban jiwa yang kembali terenggut ketika guncangan itu meruntuhkan tembok, atap dan dinding rumah dan kemudian menimpa para penghuni di dalamnya?
Selama ini, BMG sebenarnya sudah memiliki peralatan magnetometer di sedikitnya enam stasiun, antara lain di Medan dan Kupang, tetapi yang dimiliki BMG tidak dioperasikan untuk memprediksi gempa.
Selain karena tidak bersifat 'riil time', juga karena memprediksi gempa dengan gelombang EM masih merupakan hal baru dan belum dipercaya sebagai bagian ilmu meteorologi dan geofisika. Cara meramal gempa lainnya, juga bisa melalui satelit GPS (global positioning System.)
Sunda Megathrust adalah sesuatu yang mutlak dan niscaya datangnya, walaupun kita tidak pernah tahu kapan akan terjadi dan gempa bumi sulit untuk diprediksi secara tepat. Esok hari, lusa nanti ... sepuluh tahun atau bahkan seratus tahun lagi ?
Dari poster “Sumatra Rawan Gempa Bumi!” yang diterbitkan oleh California Institute of Technology (Caltech) dan Pusat Geoteknologi LIPI, di sepanjang sesar Sumatra ini tercatat kejadian-kejadian gempa bumi yang merusak, misalnya di Liwa Lampung pada 1933 (besaran 7,5), dan terulang pada 1994 (7,0). Di Kerinci pada 1909 (7,6) dan 1995 (7,0). Di Bukittinggi dan Padangpanjang yang persis terulang lagi sekarang, pernah diguncang gempa dahsyat pada 1926 (6,7) dan 1943 (7,3). Di Sorik Marapi pada 1892 (7,7) dan di sekitar Danau Toba pada 1916 dan 1921 (6,8).Pegunungan Bukit Barisan dan lembah-lembah di antaranya, termasuk danau-danaunya yang indah mulai dari Danau Ranau di Bengkulu, Danau Kerinci di Jambi, Danau Singkarak di Sumatera Barat dan Danau Toba di Sumatera Utara, adalah jalur pusat-pusat gempa bumi.
Pegunungan itu merupakan ekspresi dari tabrakan dua lempeng bumi, yaitu lempeng Samudra India-Australia dengan lempeng Benua Eurasia. Lempeng samudra yang relatif aktif bergerak mendesak Pulau Sumatra ke arah utara, tertunjam di bawah pulau Sumatra, dalam posisi miring dan tidak frontal terhadap pantai barat Sumatra.
Di bawah laut, tempat penunjaman lempeng ini membentuk suatu palung laut. Palung ini memanjang mulai dari Laut Andaman di utara Aceh, menerus sepanjang lepas pantai barat Sumatra, berbelok ke laut selatan Jawa dan menerus ke arah timur di selatan Kepulauan Sunda Kecil, dan melengkung ke Laut Banda. Palung laut dengan kedalaman hingga mencapai 6.000 meter dari muka laut ini merupakan tempat kontak antara dua lempeng yang bertabrakan tersebut.
Secara geografis, banyak literatur yang menamakan palung ini Palung Sumatra untuk keberadaannya di wilayah lepas pantai Sumatra, atau Palung Jawa untuk yang berada di selatan Jawa, atau bahkan jika keduanya digabungkan menjadi dinamakan Palung Sunda. Literatur paling akhir oleh Profesor Kerry Sieh dari Caltech menyebutnya “Sunda Megathrust”, Tunjaman Besar Sunda.
Ketika kekuatan dorongan lempeng yang mendesak “Sunda Megathrust” berhasil melampaui kekuatan batuan pulau Sumatra, dan kemudian pecah, beberapa blok pecahan tergeser secara lateral.
Blok-blok yang tergeser itu secara bersama-sama dalam kejadian yang berbeda-beda selama sejarah terbentuknya Pulau Sumatra, membentuk patahan dan robekan panjang yang dinamakan Sesar Sumatra itu.
Saat pecah di zona patahan itulah, guncangan yang ditimbulkan dari pusatnya jauh di bawah muka bumi menjalar ke permukaan sebagai gempa bumi. Maka jadilah earthquake yang menimbulkan heartquake.
Sunda Megathrust Earthquake dan Rumah Adat Tradisional
Rumah tradisional yang bertahan
Digoncang Gempa beberapa desa yang dianggap modern dengan dinding tembok batu bata dan semen banyak yang roboh rata dengan tanah. Mereka seakan-akan lupa teknologi yang telah diperkenalkan oleh leluhur mereka, yaitu rumah panjang dari kayu tanpa paku yang tetap ajeg kokoh di antara puing-puing rumah tembok.
Menurut arsitek, rumah-rumah tradisional di sepanjang Bukit Barisan justru telah dirancang sedemikan rupa sehingga ramah terhadap gempa bumi dengan kontruksi bangunan tahan gempa dan design kuat terhadap goncangan yang dihasilkan dari gempa bumi.Gempa di Padang Sumatra Barat akhir-akhir ini pastilah melanda perkampungan dengan rumah-rumah tembok ini. Besar kemungkinan rumah-rumah gadang khas Minang akan tetap berdiri dengan anggunnya karena mereka dibangun dengan prinsip-prinsip yang ramah terhadap guncangan gempa bumi.
Tiang-tiangnya yang dihubungkan dengan palang-palang diikat seperti engsel yang bebas bergeser pada jarak tertentu. Jadi ketika guncangan gempa datang, rumah ikut berayun mengikuti guncangan gempa bumi, tetapi tidak sampai runtuh.
Inilah kearifan lokal yang seharusnya dipertahankan dan tidak terbujuk promosi pabrik semen untuk menggunakan rumah-rumah berdinding tembok tanpa tiang-tiang yang kuat dan terikat kuat satu dengan lainnya.
Begitu pula di Tatar Sunda. Ketika saya mengunjungi gempa di Tasikmalaya, kami mendapat suatu pemandangan yang kontras. Di sebuah kampung yang merupakan kampung campuran dimana masih terdapat rumah-rumah tradisional di sekeliling bangunan modern dengan design beton yang kokoh dan arsitektur modern.
Rumah-rumah panggung tradisional Sunda yang bertiang kayu dan berdinding bilik, masih tetapi berdiri tanpa rusak sedikitpun di sampingnya beberapa rumah “modern” bertembok yang hancur berantakan.
Penghuni rumah yang mempunyai dua jenis bangunan itu mungkin baru menyadari bahwa rumah panggungnya yang dianggap tertinggal dan kampungan, justru tersenyum ketika guncangan gempa bumi mengguncang hati para penghuninya.
source : dari berbagai sumber
3 Komentar:
wew... jadi...? mesti tinggal di kali-mantan..>? nggak kan... sob.. hehe... bgtw, kontes rusli zainal gmn...?
Setuju banget! Kenapa sih kita tidak kembali saja pada warisan yang telah ditinggalkan nenek moyang kita. Mereka sudah memberi contoh dengan mendirikan rumah2 adat, seperti joglo, rumah panggung, dll. Menurut saya, design rumah yang paling aman adalah sesuai dengan rumah adat di daerah masing2. Sayangnya warisan ilmu itu kini tergeser dengan budaya yang sama sekali tidak cocok diterapkan di Indonesia. Padahal kalau budaya masa lalu itu tetap dipertahankan dan dikembangkan tentu Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju dan dicontoh negara lain.
y rumah nenek moyang lbh tahan gempa tuh :| selain itu hrs dipahami dlu cara membangun rumah lbh baik jgn hanya dikurangi bahannya ~x(
Post a Comment
Silahkan Komentar Nye-Pam terpaksa saya Hapus.