Saat saya dan Budi Wadud seperti biasa nongkrong di kedai Ubun Galing, dari kejauhan terlihat Bang Kopi datang ke arah kami dengan tergesa-gesa. Budi Wadud yang emang dari sononya punya wajah mengenaskan dan nrimo, tipe enak dipalak udah melingker ke belakang punggung saya yang tipis.
Back to Bang Kopi …
Saya tidak enak menyebut nama aslinya, tadinya mau saya tulis Mr.X cuma Mr. X sekarang sudah dipakai oleh mayat tidak dikenal korban Jagal dari Jombang, sepintas terbersit apa Mr.P aja , wadduh yang ini lebih berabe lagi Dr. Boyke dan Dr. Naek L Tobing sudah punya hak paten memakai kata itu di rubrik-rubrik konsultasi sek untuk menggambarkan benda keramat laki-laki.
Saya tidak enak menyebut nama aslinya, tadinya mau saya tulis Mr.X cuma Mr. X sekarang sudah dipakai oleh mayat tidak dikenal korban Jagal dari Jombang, sepintas terbersit apa Mr.P aja , wadduh yang ini lebih berabe lagi Dr. Boyke dan Dr. Naek L Tobing sudah punya hak paten memakai kata itu di rubrik-rubrik konsultasi sek untuk menggambarkan benda keramat laki-laki.
Saya paksakan saja pake nama alias Bang Kopi gpp khan ? Kita sepakat saja biar aman, muka Bang Kopi ini susah dideskripsikan lewat kata-kata apalagi kalau sekadar ditulis di postingan. Mungkin karena sejak kenal setahu saya ni orang gak pernah shalat atau gimana, mukanya minus cahaya, gak ada aura. Item, sangar, kucek, butek, seram, aleum ... wajah Mapendos (Manusia Penuh Dosa).
Kalau pikiran lagi mumet sumpah rada gak nyaman kalo ketemu dia. Dan bagi yang punya Balita disarankan jangan diperlihatkan kalau gak mau anak balitanya kena step lihat hasil kawin silang antara Chong Lie dan Nixau (yang main di film The Gods Must Be Crazy).
Bang Kopi merupakan tipikal pemuda kampung pada umumnya di kampung saya, dilihat dari usia sebenarnya udah nyaris expired untuk menyandang gelar pemuda, seingat saya dia sering nongkrong di kedai Ubun Galing ini sejak saya usia 3 tahun, saya anak bontot dari 8 bersaudara. Kakak saya yang tertua sekalipun kayaknya masih kalah umur sama Bang Kopi.
Umurnya sudah menjelang Witir (Tahu khan setelah Isya, taraweh lalu witir) tapi masih betah melajang. Gak punya keluarga, gak punya kerjaan di keluarga dia cuma dianggap parasit, walaupun tentunya dia bukan parasit lajang yang dimaksud Ayu Utami.
Mabuk dan Judi sudah jadi keseharian Bang Kopi, padahal dia tahu tindakan tersebut sangat dikecam oleh Rhoma Irama juga Cucu Cahyati. Trouble Maker di wilayah kampung kami, momok yang meresahkan juga sangat berpengaruh. Kalau Bang Kopi muncul diantara keramaian anak-anak muda kampung, perlahan-lahan keramaian itu bubar. Melihat kedatangannya dari jauh, orang-orang udah panik beres-beres, ibarat pedagang kaki lima ngeliat Satpol PP atau tramtib datang.
Pokoknya si Kopi ini momok yang meresahkan juga sangat berpengaruh. Sayang banget Michael Hart gak sempat ngelirik dia waktu nyusun buku Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
Ah, sebenarnya orang sekampung, lelaki dan perempuan sudah pada tahu siapa dan bagaimana Bang Kopi. Dia memang lain, ada lagi tabiatnya yang sering membuat orang sekampung mengerutkan alis karena gak habis pikir. Dibalik kebrengsekannya Bang Kopi sangat doyan main perempuan dan tabiat itu tidak ditutup-tutupinya. Dia dengan mudah mengaku sudah meniduri sekian puluh perempuan “Saya selalu tidak tahan bila hasrat birahi tiba-tiba bergolak” benar-benar alasan yang simpel dan gak mutu yang bisa memutuskan alur perdebatan.
Kadang-kadang ia berlaku garang seperti preman, sering juga aneh kayak seniman, pada suatu kesempatan menjadi gentleman layaknya Don Juan, di kesempatan lain sok wibawa Ibarat anggota Dewan.
Saat Bang Kopi mendekati kami susah saya menebak ni orang lagi sedih atau happy, Lha Wong mukanya konsisten gitu, Senyum cengengesan sama meringis, gak ada beda. Udah satu paket … Seram. Kadang gak habis pikir kok bisa banyak cewek yang khilaf sampai-sampai mau sama Bang Kopi.
“Mas Tozie … saya mau ngomong, tapi cuma empat mata” ucapanya pendek. Budi Wadud kesenengan langsung pamit meninggalkan kami berdua dia merasa selamat dari mulut buaya dan ngibrit pulang ke mulut macan istrinya.
Ketika mulai berbicara ucapannya terdengar kurang jelas.
“Mas Tozie, saya sering bingung, sebaiknya saya harus bagaimana ?”
“Maksud Bang Kopi ?”
“Ah, mas Tozie kan tahu saya orang begini, orang jelek, Wong Gemblung. Doyan perempuan. Saya mengerti sebenarnya semua orang tak suka kepada saya. Sudah lama saya merasa orang sekampung lebih senang bila saya tidak ada.
“Bang semua orang tahu siapa kamu,” kata saya sambil tertawa. “Dan tak ada seorang pun mengusikmu, mengapa kamu pusing ?”
“Tetapi saya merasa menjadi kelilip orang sekampung. Ah masa iya saya harus terus begini. Saya ingin berhenti jadi momok di kampung ini. Saya sudah malu menjadi Wong Gemblung. Saya sudah ingin menjadi Wong Bener, orang baik-baik, tetapi bagaimana ?”
“Yang begitu kok tanya saya bang ? Mau jadi orang baik-baik, semuanya tergantung Bang Kopi sendiri kan ? Kalau mau baik, jadilah baik. Kalau mau tetap Gemblung ya terserah.”
“Tidak ! saya ingin berhenti gemblung. Sialnya, kok ternyata tidak mudah. Betul mengubah tabiat ternyata tidak mudah. Dan inilah persoalannya mengapa saya datang kemari.”
“Bila Bang Kopi bersungguh-sungguh ingin jadi Wong bener, kenapa tidak bisa ? Seperti saya bilang tadi, masalahnya tergantung kamu, bukan ?”
“Sulit Mas,” potong Bang Kopi dengan mata berkilat-kilat.
“Saya sungguh tidak bisa!”
“Kok ? Tidak bisa atau tidak mau ?”
“Tak bisa.” Bang Kopi menunduk dan menggeleng sedih.
“Lho, kenapa ?”
“Ah, Mas Tozie tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Burung saya lho, Mas ! Burung saya ; betapapun saya ingin berhenti main perempuan, dia tidak bisa diatur ; dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung sama sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak dimana. Sungguh Mas, burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian saya tak bisa berbuat lain kecuali menuruti apa maunya.
“Sekarang Mas, saya datang kemari untuk minta bantuan. Tolong. Saya suka rela diapakan saja asal bisa jadi Wong Bener. Saya benar-benar ingin berhenti jadi wong gemblung.
“Mas mungkin saya harus dikebiri.” Ya … satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan saya adalah dengan dikebiri. Burung saya yang kurang ajar ini harus dikebiri. Sekarang mas tolong kasih tahu dokter mana yang kiranya mau mengebiri saya. Saya tidak main-main. Betul Mas
“Jangan Bang” potong saya … Tatapan mata Bang Kopi makin terasa menusuk-nusukmata saya. Wajahnya keras, dan saya hanya bisa menarik napas panjang.
“Entah di tempat lain Bang, tetapi di daerah sini saya belum pernah mendengar ada orang dikebiri” ucap saya
“Bila tak ada dokter mau mengebiri saya, di kampung sebelah ada penyabung yang pandai mengebiri ayam aduannya. Ia bisa mengebiri ayam, maka harus bisa juga mengebiri saya. Ya besok … saya akan kesana.
“Jangan Bang,” potong saya. Tatapan Bang Kopi kembali menusuk mata saya. “Abang jangan pergi ke tukang sabung ayam. Dokter memang tidak mau mengebiri Bang Kopi, tetapi saya kira dia punya cara lain untuk menolong” Besok Bang kopi saya temani ke dokter.
Wajah Bang Kopi perlahan mengendur untuk pertama kalinya selama hidup saya melihat wajah dia agak nyaman dipandang mata. Pundaknya turun dan napasnya lepas seperti orang baru menurunkan beban berat. Tak lama kemudian, setelah minta pengukuhan janji untuk mengantarnya ke dokter, Bang Kopi minta diri.
Sebuah pertanyaan muncul di kepala saya : apakah Bang Kopi adalah lelaki yang disebut Cucuk Senthe ?
Di kampung ini Cucuk Senthe adalah sebutan bagi lelaki dengan dorongan birahi meledak-ledak dan liar sehingga yang bersangkutan pun tak bisa mengendalikannya.
Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi … haruskah saya mengantar Bang Kopi untuk mengebiri Burungnya ?
Selanjutnya … marilah kita bertobat …
source : jakarta underkompor & dari berbagai sumber yang tidak bisa dipercaya
1 Komentar:
Wah, Si akang ini mah awet muda euy.... sekelas sama ane waktu di SLTA, tapi masih kayak ABG, ane udah kayak Om-om nih, Terus berkarya ya frend
Post a Comment
Silahkan Komentar Nye-Pam terpaksa saya Hapus.