Mengintip itu enak, mengintip itu nikmat. Dilakukan sekali mau dua kali, nyandu, sungguh! Dulu ketika umur kami sudah belasan tahun, temanku Karim, Agus dan aku tinggal di perumahan Amerta tak jauh dari Kawasan wisata liar pemandian dan hotel Cipanas Garut.
Yang kebanyakan namanya diselipi atau ada unsur 'ta' seperti Tirtamerta, Banyuarta, Candramerta, Tirtagangga, Cipta Bela. Yang tidak ada unsur 'ta'nya mungkin Hotel Sumber Alam ... kalo Danau Dariza dulu belum ada.
Tentu saja, beberapa hotel di Cipanas Garut dulu memakai atap rumbia dan berdinding bilik walaupun biaya sewanya bisa sama dengan kamar-kamar mentereng atau bahkan lebih mahal. Setelah kami berdua dengan Karim mengikuti gerak-gerik orang itu hampir setiap malam, maka tahulah kami apa yang dikerjakannya begitu asyik! Ternyata orang itu hanya mau mengintip orang yang 'buka kamar', sedang mengapa mereka?
Suatu waktu orang ini kami dekati dan kami tanya baik-baik.
"Pak, setiap malam begini ini, apa nggak capek dan bosan?".
"Akh sudah memang kerjaannya sih, mau apa lagilah. Lagian kerjaan begini memang kesukaan saya sejak dulu", katanya sangat enteng.
"Sebetulnya kalau kami boleh tahu, apa sih yang Bapak cari dan intipin?".
"Akh, biasalah, kadang asyik juga kalau tamu yang 'buka kamar' sedang main, kadang ya asal bisa ngintip saja. Walau mereka dalam keadaan biasa saja, tidak melakukan Make Love Having Sex, asal kita bisa melihat mereka dan mereka tidak tahu bahwa kita ngintipin mereka, sudah puaslah saya".
"Lalu apa bapak setiap malam begini ini?"
"Kalau tidak ada kerjaan lain, ya kerjaan ngeliatan begini ini asyik banget. Barangkali sudah suratannya begitu nak, saya terima sajalah apa yang menimpa saya", katanya mengaku terus terang.
Jadi memang pekerjaan ngintip itu sudah sangat menyenangkan dirinya. Setiap malam, dan gilanya lagi, kalaupun hari hujan, dia membawa payung mencari sasaran kamar intipannya! Dengan berpayung dia mengelilingi kamar-kamar hotel di sekitar perumahan kami, mencari sasaran pengintipannya. Orang ini pada akhirnya kami tahu benar, dia bukanlah orang jahat, bukanlah maling dan mau mencuri. Tetapi mungkin sejenis sakit jiwa. Sehari saja tidak mengintip, dia akan sangat resah dan gelisah. Ini kami ketahui setelah lama mengikutinya dan "berkawan" dengannya. Tetapi "perkawanan dan pertemanan" ini akhirnya kami akhiri pada suatu hari.
Sebab kukatakan pada temanku Karim, memang pada mulanya kami sangat asyik mengikuti jejak Bapak Intip (kita panggil ini aza biar gampang), Mulanya kami yang mengintip Bapak Intip. Dan kami sendiri hampir setiap malam mencari dan mengikuti Bapak Intip ini. Dan bila Bapak Intip mendapatkan sasaran intipannya, kami lebih asyik lagi melihat dan menyaksikan tingkah-pulahnya.
Dia tahu kami mengintip dan mengikuti dirinya, tapi dia tidak perduli. Dia anggap kami tidak akan mengganggu kesenangannya. Bahkan kami bisa berbicara berbincang dengan bebas dan sangat menarik mendengar cerita hasil intipannya.
Nah, kukatakan pada temanku Karim.
"Hampir setiap malam kita mengintip Bapak Intip dan mengikutinya. Asyik juga, dan lebih asyik lagi kalau kebetulan Bapak Intip sedang menikmati hasil intipannya, di mana tuan-kamar sedang ligat main. Dan kita bersama menikmati Bapak Intip. Jadi kita sebenarnya sudah kejangkitan suatu penyakit baru. Mengintip dan mengikuti seorang yang gila mengintip!
Jadi sebenarnya kita inilah yang juga berpenyakit gila mengintip orang mengintip. Jadi bukankah sama saja hakekatnya?! Apa tidak begitu?", kataku pada suatu hari.
Kami pada akhirnya "mengurangi" dulu penyakit kami, lama-lama barulah bisa mengakhirinya. Tetapi karena sudah kadung kenal dan berkawan dengan Bapak Intip, suatu malam ketemu Bapak Intip, dan dia menanyakan kami.
"Kok lama nggak kelihatan Nak? Ke mana aja selama ini? Saya lihat-lihat kok nggak ada, yang biasanya hampir tiap malam ketemu", katanya mau tahu.
"Akh, banyak urusan macam-macamlah Pak", kata Karim temanku. Dan hampir saja kami punya penyakit jiwa yang tidak enteng, menghabiskan waktu tak keruan. Yang pada mula dan asalnya mengintip orang yang suka mengintip, tahu-tahu diri sendiri ketularan penyakit yang dobbel!
Apakah kebiasaan ini ada pengaruhnya dengan sehingga saat kami duduk di bangku SMP, ketika umur sepuluh sampai duabelas tahun? Ketika itu bila di kampung kami akan ada kondangan, perhelatan, misalnya akan ada pesta pernikahan, selalu ramai seluruh rumah keluarga yang akan mengadakan pesta itu.
Dan kami anak-anak tanggung sehabis mengaji di mesjid, dengan beberapa teman kami, pergi mengintip! Dan kepala anak-anak ketika itu adalah Agus. Agus orangnya kurus, tetapi berani berkelahi, dan kami selalu jadi sasaran pukulan dan bentakannya.
Agus yang ini kami namai Agus Bengek. Kenapa? Karena nama Agus cukup banyak di kampung kami. Ada Agus Gendut, ada Agus Pincang, dan yang ini Agus Bengek, karena mengidap penyakit bengek, asma. Dan kalau sedang kambuh, bunyi nafasnya kedengaran belasan meter jauhnya, seperti orang menggesek biola yang baru belajar! Dan karena penyakit inilah kami punya rasa takut dengan penyakitnya itu. Tidak berani dekat-dekat, geli dan dia itu agak bau, ada sedikit congekan, bau telinganya itu!
Tetapi Agus terkadang menyenangkan, pandai mengorganisasi, dan juga pandai dan berwibawa kalau menghardik dan membentak kami. Memang dia tertua dan terbesar di antara kami. Suatu kali kami berlima atau berenam pergi mengintip di rumah seorang keluarga Agus yang akan mengadakan pesta pernikahan. Seperti kebiasaan rata-rata rumah di kampung kami, selalu berlantaikan papan dan selalu ada sela-sela lobang yang berjarak beberapa sentimeter. Sehingga ada lobang buat melihat, mengintip dari bawah rumah itu. Karena rumah panggung, jadi ada ruangan luas buat setengah berdiri di bawah rumah itu, dan kami mengintip dengan bebasnya.
Kami mengintip orang sedang asyik masak-masak, menumbuk bumbu, sibuk bekerja. Ada yang sedang menggoreng, ada yang sedang memotong ayam, sayuran, mencuci piring, dan seperti biasanya rumah panggung, langsung saja air bekas cucian piring atau segala perabotan-masak seperti kuali, panci, dandang, langsung saja dibuang ke bawah di sela-sela lobang antara papan itu. Maka menjeritlah teman kami, karena matanya tersiram air agak panas dan pedas itu.
Lalu Agus akan sangat marah, dan mengancam akan memukulnya, sebab kalau ketahuan orang di atas, mereka akan memarahi kami semua. Dan para keluarga kami tentu akan mencari kami. Untunglah ketika itu orang di atas tidak mendengarkan jeritan teman kami itu. Dan kami kembali asyik mencari sasaran intipan. Banyak para gadis yang umurnya di atas umur kami, mungkin bisa disebutkan perawan tingting ketika itu.
Dan kami agak curiga pada Agus, sebab dia selalu terpaku pada satu titik, tidak bergerak dari tempat berdirinya. Sedangkan kami ke mana-mana mencari sasaran lainnya, dan Agus tak pindah-pindah tempat, di situ terus. Tetapi ketika kami mau mendekatinya, lalu segera dia sangat marah dan mengusir kami.
"Sana jangan sini. Awas kalau dekat kupukul! Pergi menjauh, sana!", katanya dengan kasar dan mengancam.
"Lalu kenapa rupanya", kata kami.
"Ini, yang di atas ini, adalah kakakku, tak pula pakai Celana Dalam lagi. Kalian tidak boleh ke sini, awas, kalau ke sini kupukul", ancam Agus.
Maka tahulah kami mengapa Agus tak bergerak dan tak pindah-pindah itu. Rupanya dia menjaga dan menjadi pengawal kakaknya yang tak ber Celana Dalam itu. Kami mau ketawa tapi tertahan-tahan karena ancamannya sambil dia memgang sepotong kayu agak besar. Kalau terkena pada orang lain boleh-boleh saja, kalau terkena pada keluarga sendiri samasekali tak boleh, inilah rahasia yang sama sekali bukan rahasia!
Yang kebanyakan namanya diselipi atau ada unsur 'ta' seperti Tirtamerta, Banyuarta, Candramerta, Tirtagangga, Cipta Bela. Yang tidak ada unsur 'ta'nya mungkin Hotel Sumber Alam ... kalo Danau Dariza dulu belum ada.
Ada peribahasa mengatakan dengan bijak : "Dosa paling besar adalah mengganggu orang bercinta!" Malam itu hendaknya ditambah : "Jangan mengganggu orang ngintip orang bercinta!"Bila malam menjelang agak sepi, ada seorang yang kami perhatikan, karena gerak-geriknya mencurigakan. Kami ikuti ke mana dia pergi. Sepertinya selalu sibuk mendekati kamar, lalu mendekatkan kepalanya ke arah dinding. Ketika itu kamar-kamar yang jadi sasarannya adalah kamar-kamar hotel yang berdinding papan atau kayu, bukannya kamar hotel gedung yang mentereng.
Tentu saja, beberapa hotel di Cipanas Garut dulu memakai atap rumbia dan berdinding bilik walaupun biaya sewanya bisa sama dengan kamar-kamar mentereng atau bahkan lebih mahal. Setelah kami berdua dengan Karim mengikuti gerak-gerik orang itu hampir setiap malam, maka tahulah kami apa yang dikerjakannya begitu asyik! Ternyata orang itu hanya mau mengintip orang yang 'buka kamar', sedang mengapa mereka?
Suatu waktu orang ini kami dekati dan kami tanya baik-baik.
"Pak, setiap malam begini ini, apa nggak capek dan bosan?".
"Akh sudah memang kerjaannya sih, mau apa lagilah. Lagian kerjaan begini memang kesukaan saya sejak dulu", katanya sangat enteng.
"Sebetulnya kalau kami boleh tahu, apa sih yang Bapak cari dan intipin?".
"Akh, biasalah, kadang asyik juga kalau tamu yang 'buka kamar' sedang main, kadang ya asal bisa ngintip saja. Walau mereka dalam keadaan biasa saja, tidak melakukan Make Love Having Sex, asal kita bisa melihat mereka dan mereka tidak tahu bahwa kita ngintipin mereka, sudah puaslah saya".
"Lalu apa bapak setiap malam begini ini?"
"Kalau tidak ada kerjaan lain, ya kerjaan ngeliatan begini ini asyik banget. Barangkali sudah suratannya begitu nak, saya terima sajalah apa yang menimpa saya", katanya mengaku terus terang.
Jadi memang pekerjaan ngintip itu sudah sangat menyenangkan dirinya. Setiap malam, dan gilanya lagi, kalaupun hari hujan, dia membawa payung mencari sasaran kamar intipannya! Dengan berpayung dia mengelilingi kamar-kamar hotel di sekitar perumahan kami, mencari sasaran pengintipannya. Orang ini pada akhirnya kami tahu benar, dia bukanlah orang jahat, bukanlah maling dan mau mencuri. Tetapi mungkin sejenis sakit jiwa. Sehari saja tidak mengintip, dia akan sangat resah dan gelisah. Ini kami ketahui setelah lama mengikutinya dan "berkawan" dengannya. Tetapi "perkawanan dan pertemanan" ini akhirnya kami akhiri pada suatu hari.
Sebab kukatakan pada temanku Karim, memang pada mulanya kami sangat asyik mengikuti jejak Bapak Intip (kita panggil ini aza biar gampang), Mulanya kami yang mengintip Bapak Intip. Dan kami sendiri hampir setiap malam mencari dan mengikuti Bapak Intip ini. Dan bila Bapak Intip mendapatkan sasaran intipannya, kami lebih asyik lagi melihat dan menyaksikan tingkah-pulahnya.
Dia tahu kami mengintip dan mengikuti dirinya, tapi dia tidak perduli. Dia anggap kami tidak akan mengganggu kesenangannya. Bahkan kami bisa berbicara berbincang dengan bebas dan sangat menarik mendengar cerita hasil intipannya.
Nah, kukatakan pada temanku Karim.
"Hampir setiap malam kita mengintip Bapak Intip dan mengikutinya. Asyik juga, dan lebih asyik lagi kalau kebetulan Bapak Intip sedang menikmati hasil intipannya, di mana tuan-kamar sedang ligat main. Dan kita bersama menikmati Bapak Intip. Jadi kita sebenarnya sudah kejangkitan suatu penyakit baru. Mengintip dan mengikuti seorang yang gila mengintip!
Jadi sebenarnya kita inilah yang juga berpenyakit gila mengintip orang mengintip. Jadi bukankah sama saja hakekatnya?! Apa tidak begitu?", kataku pada suatu hari.
Kami pada akhirnya "mengurangi" dulu penyakit kami, lama-lama barulah bisa mengakhirinya. Tetapi karena sudah kadung kenal dan berkawan dengan Bapak Intip, suatu malam ketemu Bapak Intip, dan dia menanyakan kami.
"Kok lama nggak kelihatan Nak? Ke mana aja selama ini? Saya lihat-lihat kok nggak ada, yang biasanya hampir tiap malam ketemu", katanya mau tahu.
"Akh, banyak urusan macam-macamlah Pak", kata Karim temanku. Dan hampir saja kami punya penyakit jiwa yang tidak enteng, menghabiskan waktu tak keruan. Yang pada mula dan asalnya mengintip orang yang suka mengintip, tahu-tahu diri sendiri ketularan penyakit yang dobbel!
Apakah kebiasaan ini ada pengaruhnya dengan sehingga saat kami duduk di bangku SMP, ketika umur sepuluh sampai duabelas tahun? Ketika itu bila di kampung kami akan ada kondangan, perhelatan, misalnya akan ada pesta pernikahan, selalu ramai seluruh rumah keluarga yang akan mengadakan pesta itu.
Dan kami anak-anak tanggung sehabis mengaji di mesjid, dengan beberapa teman kami, pergi mengintip! Dan kepala anak-anak ketika itu adalah Agus. Agus orangnya kurus, tetapi berani berkelahi, dan kami selalu jadi sasaran pukulan dan bentakannya.
Agus yang ini kami namai Agus Bengek. Kenapa? Karena nama Agus cukup banyak di kampung kami. Ada Agus Gendut, ada Agus Pincang, dan yang ini Agus Bengek, karena mengidap penyakit bengek, asma. Dan kalau sedang kambuh, bunyi nafasnya kedengaran belasan meter jauhnya, seperti orang menggesek biola yang baru belajar! Dan karena penyakit inilah kami punya rasa takut dengan penyakitnya itu. Tidak berani dekat-dekat, geli dan dia itu agak bau, ada sedikit congekan, bau telinganya itu!
Tetapi Agus terkadang menyenangkan, pandai mengorganisasi, dan juga pandai dan berwibawa kalau menghardik dan membentak kami. Memang dia tertua dan terbesar di antara kami. Suatu kali kami berlima atau berenam pergi mengintip di rumah seorang keluarga Agus yang akan mengadakan pesta pernikahan. Seperti kebiasaan rata-rata rumah di kampung kami, selalu berlantaikan papan dan selalu ada sela-sela lobang yang berjarak beberapa sentimeter. Sehingga ada lobang buat melihat, mengintip dari bawah rumah itu. Karena rumah panggung, jadi ada ruangan luas buat setengah berdiri di bawah rumah itu, dan kami mengintip dengan bebasnya.
Kami mengintip orang sedang asyik masak-masak, menumbuk bumbu, sibuk bekerja. Ada yang sedang menggoreng, ada yang sedang memotong ayam, sayuran, mencuci piring, dan seperti biasanya rumah panggung, langsung saja air bekas cucian piring atau segala perabotan-masak seperti kuali, panci, dandang, langsung saja dibuang ke bawah di sela-sela lobang antara papan itu. Maka menjeritlah teman kami, karena matanya tersiram air agak panas dan pedas itu.
Lalu Agus akan sangat marah, dan mengancam akan memukulnya, sebab kalau ketahuan orang di atas, mereka akan memarahi kami semua. Dan para keluarga kami tentu akan mencari kami. Untunglah ketika itu orang di atas tidak mendengarkan jeritan teman kami itu. Dan kami kembali asyik mencari sasaran intipan. Banyak para gadis yang umurnya di atas umur kami, mungkin bisa disebutkan perawan tingting ketika itu.
Dan kami agak curiga pada Agus, sebab dia selalu terpaku pada satu titik, tidak bergerak dari tempat berdirinya. Sedangkan kami ke mana-mana mencari sasaran lainnya, dan Agus tak pindah-pindah tempat, di situ terus. Tetapi ketika kami mau mendekatinya, lalu segera dia sangat marah dan mengusir kami.
"Sana jangan sini. Awas kalau dekat kupukul! Pergi menjauh, sana!", katanya dengan kasar dan mengancam.
"Lalu kenapa rupanya", kata kami.
"Ini, yang di atas ini, adalah kakakku, tak pula pakai Celana Dalam lagi. Kalian tidak boleh ke sini, awas, kalau ke sini kupukul", ancam Agus.
Maka tahulah kami mengapa Agus tak bergerak dan tak pindah-pindah itu. Rupanya dia menjaga dan menjadi pengawal kakaknya yang tak ber Celana Dalam itu. Kami mau ketawa tapi tertahan-tahan karena ancamannya sambil dia memgang sepotong kayu agak besar. Kalau terkena pada orang lain boleh-boleh saja, kalau terkena pada keluarga sendiri samasekali tak boleh, inilah rahasia yang sama sekali bukan rahasia!
6 Komentar:
kkkwwwwaaa.....suka ngintip ya...enakan ngintip orang yang lagi masak...pasti ngiler dah...hehheheheee...mampir ke rumahq ya..aku juga punya postingan baru neh..
haha..ngintip itu nikmat..sekali mau dua kali nyandu..'
Hebat juga pepatahnya..hua hua
haha....iso2 wae
:)) ado-ado sae ma., wkakaka.,
Wekekekekek........Ajak aku dong kalo lain waktu mau intip orang ngintip....pls
Post a Comment
Silahkan Komentar Nye-Pam terpaksa saya Hapus.