Lama bagi aku untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kita alami bersama.
Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak. Senggol sedikit gaya kamu (Kenapa sih mas ?).
Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih membutuhkan mekanisme agar mampu bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkan ---- entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah bergandengan … karena cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, Cinta adalah aku dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cintapun hidup dan bukan Cuma maskot untuk disembah sujud.
Dan aku hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang mulai melayu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan laju jam dinding di kamarku yang gagu karena habis daya.
Aku yakin kamu akan paham, setidaknya setengah memahami, atau setidaknya memaklumi betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkan bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata ’jangan’ yang mungkin, apabila diucapkan dan dilakukan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi ???
Akupun tersadar, inilah perpisahan paling sepi yang aku alami.
Ketika surat ini kamu baca dan tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai.
Bagian dirimu yang paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kita bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat ini.
Dirimu yang mini, tapi keras kepala memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk ikut menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut tenagaku pun makin menyurut, mungkin aku akan membiarkan bidadari itu pergi semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, kamu akan berteriak-teriak dan minta pulang. Dan aku akan menjemputmu, lalu membiarkan sejarah membentengi dirimu dengan tembok yang tebal yang tak lagi bisa ditembus.
Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, Bintang Selatan … yang menunjukan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
Aku yang semampuku ikut merasakan apa yang kamu rasakan walau susah sungguh.
dari berbagai sumber
posted by lalatx kopitozie
Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak. Senggol sedikit gaya kamu (Kenapa sih mas ?).
Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih membutuhkan mekanisme agar mampu bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkan ---- entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah bergandengan … karena cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, Cinta adalah aku dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cintapun hidup dan bukan Cuma maskot untuk disembah sujud.
Dan aku hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang mulai melayu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan laju jam dinding di kamarku yang gagu karena habis daya.
Aku yakin kamu akan paham, setidaknya setengah memahami, atau setidaknya memaklumi betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkan bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata ’jangan’ yang mungkin, apabila diucapkan dan dilakukan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi ???
Akupun tersadar, inilah perpisahan paling sepi yang aku alami.
Ketika surat ini kamu baca dan tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai.
Bagian dirimu yang paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kita bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat ini.
Dirimu yang mini, tapi keras kepala memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk ikut menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut tenagaku pun makin menyurut, mungkin aku akan membiarkan bidadari itu pergi semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, kamu akan berteriak-teriak dan minta pulang. Dan aku akan menjemputmu, lalu membiarkan sejarah membentengi dirimu dengan tembok yang tebal yang tak lagi bisa ditembus.
Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, Bintang Selatan … yang menunjukan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
Aku yang semampuku ikut merasakan apa yang kamu rasakan walau susah sungguh.
dari berbagai sumber
posted by lalatx kopitozie
0 Komentar:
Post a Comment
Silahkan Komentar Nye-Pam terpaksa saya Hapus.