Menulis serial, menurut saya dan tanpa mengecilkan arti penulis non-serial, membutuhkan effort yang lebih tinggi. Selain penulis dituntut stamina yang lebih tinggi saat berkarya, ia juga harus memiliki beberapa cadangan skenario sebagai jalur ceritanya sehingga cerita tidak mudah “tertebak”. Yang saya maksud dengan tertebak, beberapa cerita serial sering terjebak dengan beberapa hal berikut ini:
- Pengulangan kisah (yang meskipun bisa saja berbeda setting namun pada dasarnya kisah sudah pernah ditulis di bagian awal) bahkan yang paling parah jika penulis melakukan pengulangan kalimat
- Sempalan cerita paralel, misalnya menceritakan kemunculan tokoh baru, yang dipaksakan masuk ke dalam cerita yang pada dasarnya jika dihilangkan tidak akan memiliki efek yang cukup signifikan terhadap cerita
- Cerita menjadi hambar karena kehilangan kejutan-kejutan di setiap tikungan cerita - hal ini biasanya karena cadangan skenario semakin terbatas.
Entah bagaimana dengan Langit Kresna Hariadi, hal yang terpikirkan oleh saya saat (mungkin kata yang lebih tepat adalah “jika”) akan membuat sebuah serial adalah membuat sebuah skenario besar tentang bagaimana awal sebuah kisah, pertengahan kisah, dan akhirnya akhir sebuah kisah.
Sepanjang perjalanan penulisan, ide-ide baru yang muncul akan memperkaya cerita dan bahkan mungkin mengubah akhir cerita. Ah, namun itu kan jika saya yang menjadi penulis. Menulis blog ini saja masih acak-acakan. Buku Gajah Mada, Hamukti Palapa, adalah buku ke-tiga dari serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi.
Pada awalnya saya sempat khawatir saya akan membaca beberapa hal yang saya sebutkan di atas. Namun acungan jempol perlu diberikan kepada Pak Langit. Meskipun ada beberapa pengulangan - namun saya yakin hal tersebut bertujuan untuk mempertegas alur cerita.
Yang paling menarik, di dalam buku ini muncul beberapa kejutan seperti: pemberontakan dua negara bawahan Majapahit, kelokan kecil cerita tentang penikahan pemimpin pasukan Bhayangkara, penuturan latar belakang (yang selalu menjadi pertanyaan saya sejak kecil) mengapa tidak ada penerus/keturunan Gajah Mada, dan masih banyak kejutan lainnya.
Yang paling mengejutkan, entah memang hasil penelusuran sejarah atau imajinasi Pak Langit, adalah pencurian tiga buah harta pusaka Majapahit dari ruang perbendaharaan pusaka istana Majapahit. Kisah pencarian pusaka oleh Pradhabasu dan Gajah Enggon mewarnai hampir sebagian besar isi buku.
Jika hal ini benar-benar terjadi, maka Pak Langit berhasil menelusuri sebuah catatan yang tidak pernah saya sangka sebelumnya. Sementara yang paling membuka mata adalah prosesi pemilihan Gajah Mada menjadi mahapatih amangkubumi Majapahit.
Kembali, jika hal ini memang hasil penelusuran (plus imajinasi penulis) maka empat acungan jempol saya berikan kepada penulis. Meskipun demikian, terdapat beberapa hal kecil tentang detil cerita yang terlewatkan oleh penulis - yang seharusnya tidak terjadi. Ketelitian penulis dalam menelusuri abad 13 sepertinya merampok sebagian besar waktu penulisan sehingga titik-titik kecil ini terlewatkan, yaitu:
- Prajurit Bhayangkara (dalam cerita ini, saya menekankan kepada Gajah Enggon) memiliki kelebihan dalam hal teknik pembunuhan dengan melempar pisau. Pisau-pisau tersebut selalu menemani mereka dan di dalam cerita ini sepertinya pisau-pisau tersebut disembunyikan di dalam lengan baju (yang saya bayangkan tentu baju dengan lengan panjang). Hal ini dapat dibaca di halaman 520 paragraf 6 dan 7. Namun pertanyaan yang muncul adalah berapa banyak bilah pisau yang mampu disembunyikan di dalam lengan baju, baik itu lengan baju kiri maupun lengan baju kanan? Di dalam buku ini Gajah Enggon secara hampir berturut-turut melemparkan 3 pisau untuk membunuh di halaman 505, kemudian 2 pisau untuk membunuh di halaman 506. Selanjutnya Gajah Enggon melontarkan 2 buah pisau di halaman 521 dimana salah satunya berhasil menemukan sasaran sementara yang lainnya hanya menggores lengan, lalu 1 pisau kembali dilontarkan di halaman yang sama namun berhasil dimentahkan oleh musuhnya. Di halaman 521 ini Gajah Enggon juga telah mempersiapkan 2 buah pisau yang siap untuk dilemparkan namun situasi yang tidak terduga membuatnya harus menahan lemparan pisaunya - namun pada halaman 522 agaknya Pak Langit mencoba menggambarkan upaya tanpa hasil Gajah Enggon melemparkan pisau-pisau tersebut kepada musuhnya.Menilik apa yang diungkapkan sejak halaman 505 hingga halaman 522, paling tidak Gajah Enggon melepaskan 10 buah pisau terbang. Jika rata-rata panjang pisau pembunuh beserta gagangnya adalah 10 cm, maka dibalik masing-masing lengan baju Gajah Enggon paling sedikit terdapat 5 buah pisau dengan total panjang maksimum (bukan minimum, karena pisau tersebut bisa jadi ditumpuk) adalah 50 cm. Secara logika hal ini masih memungkinkan, namun perlu dicermati lagi kemungkinan-kemungkinan berat pisau dan apakah pisau sepanjang 10 cm mampu melakukan pembunuhan dimaksud serta efeknya terhadap kemampuan olah gerak Gajah Enggon.
- Halaman 505 dan 506 sempat membuat saya mengerutkan dahi dan memaksa saya untuk membolak-balik kedua halaman tersebut. Saat musuhnya tinggal tersisa 3 orang (halaman 505 paragraf akhir), Gajah Enggon berhasil menyudahi perlawanan salah satu diantaranya dengan leher tertebas. Namun pada halaman 506 paragraf pertama tertulis “Gajah Enggon tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan gerakan memutar untuk menambah tenaga, pisau yang muncul dari balik lengan baju melesat menyambut korbannya. Terhenyak Bandar Surapati bersamaan dengan dua anak buahnya yang tersisa, saat masing-masing pisau bergambar lambang pasukan khusus Bhayangkara melesat menembus dada…”Saat seorang musuhnya telah terbunuh, Pak Langit kembali menuliskan bahwa masih terdapat 3 orang yang tengah melawan Gajah Enggon. Hal kecil yang sempat mengerutkan dahi saya.
- Pada halaman 521 terdapat keganjilan dimana tertulis sebuah pisau mengarah menuju dua mulut, meskipun di paragraf sebelumnya Gajah Enggon jelas-jelas mengayunkan pisau secara beruntun kepada musuh-musuhnya. Mungkin, yang dimaksud dengan tulisan “Pisau pertama melesat menuju dua mulut…” adalah “kedua buah pisau pertama..”
- Saat Gajah Mada mengucapkan Sumpah Hamukti Palapa, di halaman 680, saya tidak bisa membayangkan seorang mantan Mahapatih Arya Tadah menertawakan Gajah Mada atas visi yang diucapkannya melalui sumpah tersebut. Pengalaman serta pandangan seorang mahapatih Arya Tadah yang diuraikan dalam buku sebelumnya dan di bagian awal buku ini sama sekali tidak mencerminkan ia tidak mampu melihat visi Gajah Mada yang sangat jauh ke depan. Atau memang ini yang diinginkan oleh penulis untuk menggambarkan bahwa seorang mahapatih pun hanya seorang manusia, yang memiliki keterbatasan dibandingkan manusia lainnya, khususnya dalam hal ini Arya Tadah dan Gajah Mada.
Diluar hal-hal kecil yang saya sebutkan di atas, buku ini layak di baca. Menggugah dan mencerahkan adalah kata-kata yang saya rasa tepat untuk menggambarkan apa yang diceritakan di dalam buku. Book facts: Judul: Gajah Mada, Hamukti Palapa Penulis: Langit Kresna Hariadi Penerbit: Tiga Serangkai, 2006 Tebal: x, 694 hlm
4 Komentar:
wah, di pontianak, kalimantan barat, kayaknya belum nemu deh buku gajah mada. liad di kick andy *seingat saya*, tuh buku tebel buanget yah??
hihiii.. belum niat buat baca buku sejarah neh. asyikkan buku sastra, islami,
Cerita yang pasti menarik dan membuka wawasan pembacanya akan Kepahlawanan Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara dengan Sumpah Palapa nya yang sangat terkenal ! Terinspirasi dengan Sumpah Palapa ini maka pada tahun 1976 Satelit Palapa diluncurkan untuk menghubungkan seluruh pelosok Nusantara ini sehingga bisa berkomunikasi secara langsung dengan mudah !
Wah keren ceritanya,tapisayang gajah mada pernah memerangi leluhurku orang Sunda
Aku juga pernah baca waktu terjadinya perang bubat,tapi emang sejarah tidak mungkin berulang.Ceritanya begitu memilukan tak satu pun prajurit padjadjaran yang tersisa.
Post a Comment
Silahkan Komentar Nye-Pam terpaksa saya Hapus.